Di bawah bendera yang robek, di tanah yang merah basah,
para pemberani berdiri, bersetia pada sumpah.
Sumpah yang diikrarkan tanpa keraguan,
bahwa kemerdekaan adalah harga mati,
bahwa tanah air lebih mulia dari nyawa sendiri.
Mereka tidak meminta pujian,
tidak berharap dikenang dalam patung atau buku sejarah,
hanya ingin kita menjaga mimpi yang telah mereka titipkan.
Mereka adalah petani yang meninggalkan cangkulnya,
buruh yang menggulung lengan bajunya,
guru yang menutup bukunya,
dan pemuda yang meninggalkan kekasihnya.
Semua menyatu dalam barisan panjang,
membawa bambu runcing,
melangkah tanpa pasti apakah akan kembali.
Medan perang bukan tempat yang ramah.
Di sana, bau mesiu bercampur dengan tanah basah,
jerit kesakitan bersahut-sahutan,
dan kematian selalu mengintai dari sudut-sudut gelap.
Namun, mereka maju tanpa gentar,
menerjang bayang-bayang maut dengan tekad membara,
karena bagi mereka, mati di medan perang
adalah cara terbaik untuk hidup selamanya.
Ada kisah seorang pemuda dari desa kecil,
yang hanya tahu bertani dan menggembala kambing.
Ketika penjajah datang, dia tak lagi melihat sawah,
melainkan ladang pertempuran tempat dia bertaruh nyawa.
“Untuk apa kau pergi?” tanya ibunya di ambang pintu.
“Untuk masa depan anak-anak kita,” jawabnya singkat,
lalu pergi tanpa menoleh lagi.
Hari itu, dia meninggalkan masa depan pribadinya
untuk memastikan masa depan bangsa.
Ada juga seorang ibu yang mengirimkan putra tunggalnya,
walau hatinya remuk oleh ketakutan.
“Kalau aku melarangmu, siapa lagi yang akan maju?”
Begitu katanya sambil menahan air mata.
Dan putranya pergi, membawa doa ibunya di dadanya,
hingga akhirnya gugur di tepi sungai,
jasadnya ditemukan dengan tangan masih menggenggam bendera.
Berapa banyak nyawa yang hilang di medan perang ini?
Berapa banyak nama yang tak sempat diukir di nisan?
Berapa banyak ibu yang menunggu anaknya pulang,
hanya untuk menerima kabar duka?
Namun, mereka yang pergi tak pernah benar-benar mati.
Mereka hidup dalam setiap langkah kita,
setiap kata yang kita ucapkan,
dan setiap kebebasan yang kita nikmati.
Kita yang hidup di zaman damai sering lupa,
bahwa setiap jengkal tanah ini dibeli dengan darah.
Setiap gedung yang berdiri,
setiap jalan yang kita lewati,
adalah saksi bisu perjuangan mereka,
yang mengorbankan segalanya untuk sesuatu yang lebih besar.
Kita adalah pewaris perjuangan mereka.
Tugas kita bukan hanya mengenang,
tapi juga melanjutkan apa yang telah mereka mulai.
Mereka telah memberi kita sebuah negeri,
sebuah rumah yang disebut Indonesia.
Kini, giliran kita menjaga rumah itu,
agar tak lagi diusik oleh tangan-tangan serakah.
Kepada mereka yang gugur di medan perang,
tidak ada penghormatan yang cukup besar.
Mereka adalah bintang-bintang yang tak pernah padam,
penjaga langit negeri ini,
yang menyaksikan dari kejauhan,
apakah kita mampu menjaga apa yang telah mereka menangkan.
Maka, ketika kita menyanyikan lagu kebangsaan,
ingatlah suara mereka yang kini sunyi,
yang pernah bergema di medan perang,
mengiringi langkah-langkah terakhir mereka.
Dan ketika kita berkata, “Merdeka!”
biarlah itu menjadi janji,
bahwa kita tidak akan pernah lupa,
bahwa kita tidak akan pernah berhenti berjuang,
untuk Indonesia yang mereka impikan.
Mereka gugur di medan perang,
tapi mereka tidak pernah hilang.
Mereka adalah jiwa negeri ini,
yang akan selalu hidup,
dalam setiap mimpi tentang kemerdekaan.
Sorong , 23 Desember 2024