Esai & Resensi
Tulisan menarik seputar opini atau isu sosial, agama, politik, seni, dan lain-lain.

Esai Puisi: Di Mana Letak Keadilan untuk Papua
Di bumi yang kaya, tambang emas berjaga,Rakyatnya tertunduk, mimpi tak kunjung tiba.Hutan hijau terjaga, namun siapa yang punya?Tanah surga dirampas, keadilan entah di mana.Janji manis berdatangan dari pulau seberang,Dengan senyum palsu dan niat tak terang.Pembangunan katanya membawa harapan,Tapi siapa yang makmur, siapa yang terlupakan?Anak-anak Papua menatap langit kelabu,Sekolah roboh, guru pergi tanpa ragu.Sementara gedung megah berdiri gagah,Adakah ruang untuk mereka yang lelah?Suara-suara dibungkam dalam senyap,Yang bertanya dijawab dengan tembak dan sikap.Dimana hak untuk bicara, untuk bertanya?Ataukah di sini, hanya yang kuat yang punya kuasa?Mereka bilang "Papua adalah kita,"Tapi jarak begitu nyata di depan mata.Apa arti semboyan "Bhinneka Tunggal Ika"?Jika luka Papua tak pernah terobati juga.Dari Sabang hingga Merauke mereka ucapkan,Tapi Merauke sendiri seperti dilupakan.Apa artinya kesatuan tanpa keadilan?Tanah Papua terus menangis dalam kesunyian.Kekayaan alam mengalir keluar negeri,Namun rakyatnya hanya mengais sisa-sisa peri.Dimana janji pemerataan yang sering digaungkan?Atau hanya cerita indah yang terus digelapkan?Mereka hanya ingin hidup dengan damai,Tanpa ancaman senjata, tanpa ketakutan yang ramai.Namun perdamaian di sini terasa asing,Sementara di luar, pesta pora berlangsung.Papua, tanah yang indah dan megah,Namun keadilan baginya terasa mewah.Adakah hari di mana tawa kembali pulang?Atau hanya tangis yang terus menjelang?Wahai pemimpin yang duduk di singgasana,Bukalah mata untuk Papua yang merana.Sebab keadilan bukan hanya kata,Ia adalah hak setiap jiwa di Nusantara.

Esai Puisi: Untuk Mereka yang Gugur di Medan Perang
Di bawah bendera yang robek, di tanah yang merah basah,para pemberani berdiri, bersetia pada sumpah.Sumpah yang diikrarkan tanpa keraguan,bahwa kemerdekaan adalah harga mati,bahwa tanah air lebih mulia dari nyawa sendiri.Mereka tidak meminta pujian,tidak berharap dikenang dalam patung atau buku sejarah,hanya ingin kita menjaga mimpi yang telah mereka titipkan.Mereka adalah petani yang meninggalkan cangkulnya,buruh yang menggulung lengan bajunya,guru yang menutup bukunya,dan pemuda yang meninggalkan kekasihnya.Semua menyatu dalam barisan panjang,membawa bambu runcing,melangkah tanpa pasti apakah akan kembali.Medan perang bukan tempat yang ramah.Di sana, bau mesiu bercampur dengan tanah basah,jerit kesakitan bersahut-sahutan,dan kematian selalu mengintai dari sudut-sudut gelap.Namun, mereka maju tanpa gentar,menerjang bayang-bayang maut dengan tekad membara,karena bagi mereka, mati di medan perangadalah cara terbaik untuk hidup selamanya.Ada kisah seorang pemuda dari desa kecil,yang hanya tahu bertani dan menggembala kambing.Ketika penjajah datang, dia tak lagi melihat sawah,melainkan ladang pertempuran tempat dia bertaruh nyawa.“Untuk apa kau pergi?†tanya ibunya di ambang pintu.“Untuk masa depan anak-anak kita,†jawabnya singkat,lalu pergi tanpa menoleh lagi.Hari itu, dia meninggalkan masa depan pribadinyauntuk memastikan masa depan bangsa.Ada juga seorang ibu yang mengirimkan putra tunggalnya,walau hatinya remuk oleh ketakutan.“Kalau aku melarangmu, siapa lagi yang akan maju?â€Begitu katanya sambil menahan air mata.Dan putranya pergi, membawa doa ibunya di dadanya,hingga akhirnya gugur di tepi sungai,jasadnya ditemukan dengan tangan masih menggenggam bendera.Berapa banyak nyawa yang hilang di medan perang ini?Berapa banyak nama yang tak sempat diukir di nisan?Berapa banyak ibu yang menunggu anaknya pulang,hanya untuk menerima kabar duka?Namun, mereka yang pergi tak pernah benar-benar mati.Mereka hidup dalam setiap langkah kita,setiap kata yang kita ucapkan,dan setiap kebebasan yang kita nikmati.Kita yang hidup di zaman damai sering lupa,bahwa setiap jengkal tanah ini dibeli dengan darah.Setiap gedung yang berdiri,setiap jalan yang kita lewati,adalah saksi bisu perjuangan mereka,yang mengorbankan segalanya untuk sesuatu yang lebih besar.Kita adalah pewaris perjuangan mereka.Tugas kita bukan hanya mengenang,tapi juga melanjutkan apa yang telah mereka mulai.Mereka telah memberi kita sebuah negeri,sebuah rumah yang disebut Indonesia.Kini, giliran kita menjaga rumah itu,agar tak lagi diusik oleh tangan-tangan serakah.Kepada mereka yang gugur di medan perang,tidak ada penghormatan yang cukup besar.Mereka adalah bintang-bintang yang tak pernah padam,penjaga langit negeri ini,yang menyaksikan dari kejauhan,apakah kita mampu menjaga apa yang telah mereka menangkan.Maka, ketika kita menyanyikan lagu kebangsaan,ingatlah suara mereka yang kini sunyi,yang pernah bergema di medan perang,mengiringi langkah-langkah terakhir mereka.Dan ketika kita berkata, “Merdeka!â€biarlah itu menjadi janji,bahwa kita tidak akan pernah lupa,bahwa kita tidak akan pernah berhenti berjuang,untuk Indonesia yang mereka impikan.Mereka gugur di medan perang,tapi mereka tidak pernah hilang.Mereka adalah jiwa negeri ini,yang akan selalu hidup,dalam setiap mimpi tentang kemerdekaan.Sorong , 23 Desember 2024

Resensi Buku: Sebelum Hancur Lebur Karya Martin Suryajaya
Martin Suryajaya (1986) adalah sosok yang patut diacungi jempol karena sumbangsihnya dalam merumuskan karya-karya filsafat. Metode penulisan yang sistematis dengan merujuk pada sumber-sumber primer, sangat membantu untuk memperkaya wacana pemikiran bagi para pegiat filsafat.Beberapa buku-bukunya —yang telah saya baca— antara lain: Materialisme Dialektis: Kajian tentang Marxisme dan Filsafat Kontemporer (2012), Asal-Usul Kekayaan Sejarah Teori Nilai dalam Ilmu Ekonomi dari Aristoteles sampai Amartya Sen (2013), Alain Badiou dan Masa Depan Marxisme (2011), Sejarah Pemikiran Politik Klasik dari Prasejarah hingga abad ke-4 M (2016), serta beberapa artikel di Indoprogress.Tak hanya berfilsafat, ia juga merupakan seorang novelis dan kritikus sastra yang turut serta mewarnai kesusastraan Indonesia dengan beberapa karya-karya yang dihasilkan. Seiring waktu menggeluti dunia kesusastraan, beberapa karya telah dihasilkan. Termasuk salah satunya, “Sebelum Hancur Leburâ€.Pada kesempatan kali ini saya akan mengulas secara ringkas isi dari novel tersebut.***Sebelum Hancur Lebur adalah novel bergenre fiksi (Penerbit baNANA, Mei 2024) dengan tebal viii + 330 halaman yang terdiri dari:(1) Sastra Indonesia: Ditinjau dari Grand Dafam Hotel; (2) Risdianto Terdampar di Pulau Sastra; (3) Swargaparwa: Penglihatan tentang Orang-orang Sukses dalam Sastra Indonesia; (4) Risdianto Berikhtiar Menulis Novel; (5) Wanaparwa: Penglihatan tentang Orang-orang Susah dalam Sastra Indonesia; (6) Risdianto Menemukan bahwa Alasan untuk Menulis Novel Ternyata Sama dengan Alasan untuk Tidak Menulis Novel; (7) Sagaraparwa: Penglihatan tentang Hari Kiamat Sastra Indonesia; (8) Risdianto Berhasil Tidak Mampu Menulis Novel; (9) Siwaparwa: Sastra Indonesia Mewahyukan Dirinya kepada Sang Penyair, dan (10) Sastra Indonesia: Ditinjau dari Atas Yamaha Mio.***Risdianto (tokoh utama) adalah seorang penyair dari Semarang, tidak terlalu terkenal dan tidak memiliki suatu karya besar. Rasa cintanya kepada kesusastraan, membawanya berjumpa dengan penyair, prosais dan kritikus dalam agenda Temu Sastra Indonesia di Ternate pada 2011. Kegiatan tersebut berlangsung selama seminggu, pada saat kegiatan telah usai, panitia penyelenggara tidak memiliki dana untuk memulangkan peserta, sehingga menimbulkan kegelisahan massal dan keributan.Namun, Risdianto tidak terlalu menghiraukan hal tersebut. Ia pergi ke pantai mengasingkan diri, mencuri perahu nelayan, lalu mendayung sehingga terdampar pada sebuah pulau yang tak berpenghuni. Pulau itu kemudian diberi nama: “Pulau Sastraâ€.Selama di Pulau Sastra, Risdianto merefleksikan kesusastraan Indonesia di antara masa lampau dan masa kini. Ia mendapat pengalaman mistik dengan kemampuan menerawang masa depan dan melihat peristiwa seperti: (1.) Sastrawan tidak lagi menghasilkan karya yang autentik, karena karyanya berasal kerja-kerja teknis tim manajemen; (2.) Pada abad ke-22, berkembang pesatnya teknologi membuat industri farmasi akan memproduksi sebuah obat kepakaran. Bagi siapapun ingin menjadi pakar, hanya meminum obat dan menunggu reaksi.Umat manusia di masa depan akan mengalami kiamat. Namun, kiamat yang dimaksud bukan seperti tafsiran teologis. Melainkan situasi hancur lebur, karena ilmu pengetahuan tidak lagi penting untuk dipelajari.Situasi hancur lebur inilah, menciptakan suatu kondisi yang membuat manusia-manusia modern bertanya; Kenapa harus bersusah payah mempelajari filsafat belajar berpuisi? ataupun menulis? Bukankah segalanya sudah tersedia?! Hal inilah yang sekiranya membuat kesusastraan, kesenian dan filsafat akan menjadi sebuah tarekat-tarekat kebatinan yang asketik.Setelah melakukan suatu refleksi dengan menerawang masa depan, munculah sosok misterius bernama “Sastra Indonesia†yang memanifestasikan dirinya kepada Risdianto melalui suatu ungkapan:...“Aku terbuat dari air mata penyair buta. Aku terbuat dari buku-buku puisi yang menumpuk di gudang penerbit, sebelum akhirnya penerbit itu bangkrut dan gudangnya menjadi tempat penyembelihan sapi dan semuanya memfosil dalam 1 juta tahun. Aku terbuat dari cerpen-cerpen koran yang menunaikan takdir tertingginya menjadi pembungkus gorengan. Aku terbuat dari isi hati novelis yang ditinggalkan penggemarnya. Aku terbuat dari lengan kritikus yang dengan susah payah mengangkat galon Aqua. Aku terbuat dari kemalangan yang mengingatkan orang pada puisi. Aku terbuat dari ingus penulis yang kena influenza, tetapi terus bekerja menggubah karya yang tidak akan dibaca siapa-siapa. Aku terbuat dari senyum pramuniaga dihadapan cerpenis yang dengan agak gugup bertanya ini berapa. Aku terbuat dari teori-teori sastra yang keliru. Aku terbuat dari puisi yang terbuat dari cairan maag yang terbuat dari promag, esensi dari semua rasa laparâ€...***...“Aku bersemayam dalam lutut penyair. Aku bersemayam dalam rongga yang mengantarai tiap-tiap kata dalam sajak. Aku bersemayam dalam detik-detik hening ketika penyair menerima sepucuk amplop dari panitia, menatapnya lekat-lekat dengan 100.000 fantasi di kepalanya. Aku bersemayam dalam topi pet penyair, yang tidak bisa membedakan sajak sedih dari sajak menyedihkan. Aku bersemayam dalam apa yang dibayangkan sebagai daerah oleh para sastrawan daerah. Aku bersemayam dalam kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan di hadapan para sastrawan, dewan kesenian, tahun ini tidak ada anggaran untuk kesenian. Aku bersemayam dalam sajak-sajak buruk yang disumpahi orang banyak, tapi begitu disayangi oleh penyairnya sendiri. Aku bersemayam dalam kantung mata sastrawan yang menangisi kematian karir sastranya. Aku bersemayam dalam Indonesia yang adalah seluruh dunia persaudaraan batin orang-orang susah. Akulah puisi tersembunyi di setiap buku puisi. Akulah gemuruh dalam perut penyair yang belum makan tiga hari. Akulah kosong dan suwung yang ditemukan sastrawan dalam dompet mereka. Akulah orang gila yang datang di acara peluncuran buku puisi penyair-penyair kabupaten. Akulah angin di bubungan atap rumah kontrakan penyair yang sedang kesusahan uang. Akulah hayat dan batin yang bersemayam dalam diri setiap penghayat kebatinan Sastra Indonesia. Akulah inti wujud hari kiamatâ€... ***Jika ditelaah secara keseluruhan dan dikontekskan pada saat ini, kecerdasan buatan (AI) mulai merambah ke dalam kesusastraan, seni dan filsafat. Sehingga tak ada keautentikan dari sebuah karya yang dihasilkan. Dengan gaya penulisan berunsur satire, sarkas dan kritikan secara gamblang. Terdapat suatu upaya mendekonstruksi karya-karya sastra yang berlarut-larut dalam romantisme percintaan, hingga melankolia. Saat ini, tak ada lagi sosok sekaliber Wiji Thukul, Pramoedya Ananta Toer, W.S. Rendra, Chairil Anwar yang menjadikan karyanya sebagai sarana untuk perlawanan. Oleh karena itu, mari merefleksi bersama-sama!

Resensi Buku: Mengenal Filsafat Islam Karya Haidar Bagir
Filsafat merupakan suatu disiplin ilmu yang menggunakan metode penalaran secara kritis, ilmiah dan rasional untuk menyingkap hakikat kebenaran dari sesuatu, agar mencapai kebahagiaan (eudaimonia). Sebagai titik sentral dari segala ilmu pengetahuan (mother of science), filsafat telah berkembang dengan beragamnya aliran-aliran pemikiran.Namun, di sisi lain, ada semacam momok menakutkan bagi yang ingin mempelajari filsafat, anggapan seperti filsafat adalah sesuatu yang rumit, membingungkan, dapat menjadi atheis bahkan gila, karena mengawang-awang akan sesuatu yang tidak jelas.Begitu pun pada umat Islam, ada sekelompok teolog yang menganggap filsafat adalah bid’ah, tidak bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah, hingga memfatwakan filsafat adalah ilmu yang haram.Anggapan-anggapan demikian, sangat terkesan mendikotomikan filsafat dan agama. Hal ini juga telah menjadi persoalan dalam khazanah intelektual Islam, para filsuf seperti Al-Farabi, Ibn Sina maupun Al-Ghazali sudah membahasnya dari jauh-jauh hari.Oleh karena itu, anggapan bahwa filsafat adalah sesuatu yang rumit, perlu diklarifikasi kembali melalui sebuah buku pengantar yang membahas secara ringkas dan komprehensif. Maka, saya sangat merekomendasikan buku ini.***Judul Buku : Mengenal Filsafat IslamPenulis : Haidar BagirPenerbit : MizanTahun : 2020Tebal : 196 Halaman***Buku ini adalah edisi baru dari Buku Saku Filsafat Islam (2005) yang pernah terbit sebelumnya. Terdiri dari 16 bab dengan pembahasan yang tidak terlalu ruwet, tentunya akan mempermudah pembaca untuk memahami, menganalisis dan merefleksi secara utuh tentang filsafat Islam.Tak hanya membahas pada aspek teoretis, terdapat pula pembahasan mengenai filsafat secara praktis untuk kehidupan sehari-hari, yang dapat ditemukan pembaca pada di beberapa bab, yaitu:Bab 1) Filsafat dan Masalah-Masalah Kemanusiaan;Bab 2) Demi Memecahkan Krisis Modernisme;Bab 3) Filsafat sebagai Basis Berbagai Sistem Kehidupan, dan;Bab 4) Masih Ihwal Manfaat Filsafat: Dari Kesuksesan Bisnis hingga Keimanan.Memang, buku ini lebih dominan pada pembahasan teoretis. Dari keseluruhan isi, sekiranya alasan mengapa buku ini sangat direkomendasikan bagi siapa saja yang ingin mempelajari maupun memperkaya wacana seputar filsafat Islam:Pertama, membahas secara ringkas sejarah filsafat Islam hingga perkembangan aliran-aliran filsafat Islam dengan penggunaan bahasa yang sederhana, tidak terlalu ruwet. Para pembaca akan terbantu dengan glosarium agar dapat mendefinisikan istilah-istilah dalam filsafat.Kedua, filsafat Islam kerap kali dianggap telah berakhir pada masa Ibn Rusyd. Padahal, filsafat Islam pasca Ibn Rusyd masih berkembang dengan beberapa aliran pemikiran yang dipelopori oleh filsuf-filsuf muslim, seperti Fakhruddin Al-Razi (Filsafat Mistikal), Nashir Al-Din Al-Thusi (Filsafat Teologis), Ibn ‘Arabi & Shadr Al-Din Al-Qunawi (Tasawuf-Filosofis), Suhrawardi & Quthb Al-Din Al-Syirazi (Isyraqiyyah/Iluminasi) dan kemudian direkonstruksi oleh Mulla Shadra (Hikmah Al-Muta'aliyah).CatatanAnggapan bahwa berfilsafat nantinya akan melepaskan keyakinan beragama tidak sepenuhnya salah, karena perkembangan filsafat di Eropa telah membuat pergeseran makna, padahal filsafat mempunyai arti “cinta pada kebijaksanaanâ€. Ditambah lagi, dominasi ilmu pengetahuan yang dibangun telah berdampak secara signifikan dalam tradisi intelektual. Selamat membaca!