Martin Suryajaya (1986) adalah sosok yang patut diacungi jempol karena sumbangsihnya dalam merumuskan karya-karya filsafat. Metode penulisan yang sistematis dengan merujuk pada sumber-sumber primer, sangat membantu untuk memperkaya wacana pemikiran bagi para pegiat filsafat.
Beberapa buku-bukunya —yang telah saya baca— antara lain: Materialisme Dialektis: Kajian tentang Marxisme dan Filsafat Kontemporer (2012), Asal-Usul Kekayaan Sejarah Teori Nilai dalam Ilmu Ekonomi dari Aristoteles sampai Amartya Sen (2013), Alain Badiou dan Masa Depan Marxisme (2011), Sejarah Pemikiran Politik Klasik dari Prasejarah hingga abad ke-4 M (2016), serta beberapa artikel di Indoprogress.
Tak hanya berfilsafat, ia juga merupakan seorang novelis dan kritikus sastra yang turut serta mewarnai kesusastraan Indonesia dengan beberapa karya-karya yang dihasilkan. Seiring waktu menggeluti dunia kesusastraan, beberapa karya telah dihasilkan. Termasuk salah satunya, “Sebelum Hancur Lebur”.
Pada kesempatan kali ini saya akan mengulas secara ringkas isi dari novel tersebut.
***
Sebelum Hancur Lebur adalah novel bergenre fiksi (Penerbit baNANA, Mei 2024) dengan tebal viii + 330 halaman yang terdiri dari:
(1) Sastra Indonesia: Ditinjau dari Grand Dafam Hotel; (2) Risdianto Terdampar di Pulau Sastra; (3) Swargaparwa: Penglihatan tentang Orang-orang Sukses dalam Sastra Indonesia; (4) Risdianto Berikhtiar Menulis Novel; (5) Wanaparwa: Penglihatan tentang Orang-orang Susah dalam Sastra Indonesia; (6) Risdianto Menemukan bahwa Alasan untuk Menulis Novel Ternyata Sama dengan Alasan untuk Tidak Menulis Novel; (7) Sagaraparwa: Penglihatan tentang Hari Kiamat Sastra Indonesia; (8) Risdianto Berhasil Tidak Mampu Menulis Novel; (9) Siwaparwa: Sastra Indonesia Mewahyukan Dirinya kepada Sang Penyair, dan (10) Sastra Indonesia: Ditinjau dari Atas Yamaha Mio.
***
Risdianto (tokoh utama) adalah seorang penyair dari Semarang, tidak terlalu terkenal dan tidak memiliki suatu karya besar. Rasa cintanya kepada kesusastraan, membawanya berjumpa dengan penyair, prosais dan kritikus dalam agenda Temu Sastra Indonesia di Ternate pada 2011. Kegiatan tersebut berlangsung selama seminggu, pada saat kegiatan telah usai, panitia penyelenggara tidak memiliki dana untuk memulangkan peserta, sehingga menimbulkan kegelisahan massal dan keributan.
Namun, Risdianto tidak terlalu menghiraukan hal tersebut. Ia pergi ke pantai mengasingkan diri, mencuri perahu nelayan, lalu mendayung sehingga terdampar pada sebuah pulau yang tak berpenghuni. Pulau itu kemudian diberi nama: “Pulau Sastra”.
Selama di Pulau Sastra, Risdianto merefleksikan kesusastraan Indonesia di antara masa lampau dan masa kini. Ia mendapat pengalaman mistik dengan kemampuan menerawang masa depan dan melihat peristiwa seperti: (1.) Sastrawan tidak lagi menghasilkan karya yang autentik, karena karyanya berasal kerja-kerja teknis tim manajemen; (2.) Pada abad ke-22, berkembang pesatnya teknologi membuat industri farmasi akan memproduksi sebuah obat kepakaran. Bagi siapapun ingin menjadi pakar, hanya meminum obat dan menunggu reaksi.
Umat manusia di masa depan akan mengalami kiamat. Namun, kiamat yang dimaksud bukan seperti tafsiran teologis. Melainkan situasi hancur lebur, karena ilmu pengetahuan tidak lagi penting untuk dipelajari.
Situasi hancur lebur inilah, menciptakan suatu kondisi yang membuat manusia-manusia modern bertanya; Kenapa harus bersusah payah mempelajari filsafat belajar berpuisi? ataupun menulis? Bukankah segalanya sudah tersedia?! Hal inilah yang sekiranya membuat kesusastraan, kesenian dan filsafat akan menjadi sebuah tarekat-tarekat kebatinan yang asketik.
Setelah melakukan suatu refleksi dengan menerawang masa depan, munculah sosok misterius bernama “Sastra Indonesia” yang memanifestasikan dirinya kepada Risdianto melalui suatu ungkapan:
...“Aku terbuat dari air mata penyair buta. Aku terbuat dari buku-buku puisi yang menumpuk di gudang penerbit, sebelum akhirnya penerbit itu bangkrut dan gudangnya menjadi tempat penyembelihan sapi dan semuanya memfosil dalam 1 juta tahun. Aku terbuat dari cerpen-cerpen koran yang menunaikan takdir tertingginya menjadi pembungkus gorengan. Aku terbuat dari isi hati novelis yang ditinggalkan penggemarnya. Aku terbuat dari lengan kritikus yang dengan susah payah mengangkat galon Aqua. Aku terbuat dari kemalangan yang mengingatkan orang pada puisi. Aku terbuat dari ingus penulis yang kena influenza, tetapi terus bekerja menggubah karya yang tidak akan dibaca siapa-siapa. Aku terbuat dari senyum pramuniaga dihadapan cerpenis yang dengan agak gugup bertanya ini berapa. Aku terbuat dari teori-teori sastra yang keliru. Aku terbuat dari puisi yang terbuat dari cairan maag yang terbuat dari promag, esensi dari semua rasa lapar”...
***
...“Aku bersemayam dalam lutut penyair. Aku bersemayam dalam rongga yang mengantarai tiap-tiap kata dalam sajak. Aku bersemayam dalam detik-detik hening ketika penyair menerima sepucuk amplop dari panitia, menatapnya lekat-lekat dengan 100.000 fantasi di kepalanya. Aku bersemayam dalam topi pet penyair, yang tidak bisa membedakan sajak sedih dari sajak menyedihkan. Aku bersemayam dalam apa yang dibayangkan sebagai daerah oleh para sastrawan daerah. Aku bersemayam dalam kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan di hadapan para sastrawan, dewan kesenian, tahun ini tidak ada anggaran untuk kesenian. Aku bersemayam dalam sajak-sajak buruk yang disumpahi orang banyak, tapi begitu disayangi oleh penyairnya sendiri. Aku bersemayam dalam kantung mata sastrawan yang menangisi kematian karir sastranya. Aku bersemayam dalam Indonesia yang adalah seluruh dunia persaudaraan batin orang-orang susah. Akulah puisi tersembunyi di setiap buku puisi. Akulah gemuruh dalam perut penyair yang belum makan tiga hari. Akulah kosong dan suwung yang ditemukan sastrawan dalam dompet mereka. Akulah orang gila yang datang di acara peluncuran buku puisi penyair-penyair kabupaten. Akulah angin di bubungan atap rumah kontrakan penyair yang sedang kesusahan uang. Akulah hayat dan batin yang bersemayam dalam diri setiap penghayat kebatinan Sastra Indonesia. Akulah inti wujud hari kiamat”...
***
Jika ditelaah secara keseluruhan dan dikontekskan pada saat ini, kecerdasan buatan (AI) mulai merambah ke dalam kesusastraan, seni dan filsafat. Sehingga tak ada keautentikan dari sebuah karya yang dihasilkan. Dengan gaya penulisan berunsur satire, sarkas dan kritikan secara gamblang. Terdapat suatu upaya mendekonstruksi karya-karya sastra yang berlarut-larut dalam romantisme percintaan, hingga melankolia. Saat ini, tak ada lagi sosok sekaliber Wiji Thukul, Pramoedya Ananta Toer, W.S. Rendra, Chairil Anwar yang menjadikan karyanya sebagai sarana untuk perlawanan. Oleh karena itu, mari merefleksi bersama-sama!