“Jangan pernah memendam rasa kepada seseorang, kalau kamu tidak mau berakhir ikhlas dan terluka. Ungkapkanlah, masalah ditolak itu pilihan dia yang kamu cinta.”
***
Kenalkan namaku Rona, dan ini hari pertamaku di sebuah kampus swasta di Kota Sorong. Meski telah resmi menjadi seorang mahasiswa baru, aku masih disibukkan dengan beragam pengurusan administrasi untuk masuk fakultas yang kuinginkan, yaitu Fakultas Ilmu Sosial, dengan program studi Administrasi Publik.
“Yoooo! Rona! What’s up, Sis?” tegur seorang pemuda yang sangat tak asing lagi tingkah lakunya.
“What’s up bacot kau! Sakit tahu badanku kau pukul begitu. Pikirmu aku samsak yah?” cercaku dengan mata yang membulat sempurna.
“Ya sudah, aku minta maaf. Lalu bagaimana kabarmu?”
“Biasalah kabarku baik. Jurusan apa yang kamu ambil?”
“Sistem Informasi,” jawab pemuda tadi dengan nafas yang terdengar berat.
“Bukannya dari SMK kamu berniat mengambil jurusan seni gambar? Setahuku, impianmu adalah bisa kuliah desain animasi, Jilo,” timpalku sembari mengingat ucapan Jilo tentang mimpinya dulu.
“Itu kan dulu, sekarang yah beda lagi. Apalagi sejak bapakku meninggal, mau tidak mau aku harus tetap di sini menemani mamaku.”
“Oh …. Karena itu, semangat ya. Tapi tenang saja, kan ada aku. Jadi kamu tidak sendiri.” ucapku dengan senyum tulus kepada Jilo, teman sekaligus orang yang sejak SMK aku sukai dalam diam.
****
Keseharian kami selama perkuliahan berjalan seperti biasa, tidak ada yang berubah dari jaman SMK dulu. Aku yang cukup berambisi dengan nilai, dan Jilo yang selalu menamaniku mengerjakan tugas. Semuanya tidak ada yang berubah, meski terkadang kami juga memiliki kesibukan masing-masing, tetapi kami tak pernah saling melupakan.
Hingga, hari itu tiba. Hari dimana Jilo mengenalkan dia padaku.
“Yoooo, Rona! Kenalin dia Rina, teman sekelasku. By the way, boleh kan aku ajak dia ke sini?”
“Hah?” aku ternganga sembari mengedipkan mata berusaha mencerna perkataan Jilo.
Namun, belum sempat tercerna dengan baik, gadis bernama Rina itu menjulurkan tangannya, “Hai, kamu pasti Rona ‘kan, anak Administrasi Publik.”
Sambil mengangguk, aku pun menyambut uluran tangannya dan berucap, “Iya, aku Rona. Kamu?”
“Kenalkan namaku Rina, teman sekelas Jilo di Sistem Informasi. Senang berkenalan denganmu,” jelasnya dengan bibir yang melengkung indah, hingga memperlihatkan lesung pipi yang membuat ia terlihat manis.
“Rona, boleh kan aku mengajak Rina makan bersama kita di sini?” Jilo kembali bertanya dengan penuh semangat.
Mendengar pertanyaan Jilo yang sejak tadi terucap, aku pun hanya mengangguk. Sedangkan Jilo, ia terlihat begitu puas dengan respon yang kutunjukkan. Tetapi, ia tidak tahu jika sesungguhnya aku tak begitu suka akan kehadiran Rina di antara kami.
****
“Eh Rona, bener nggak gosip yang beredar itu?”, ucap Sasa teman sekelasku ketika perkuliahan kami baru saja selesai.
“Gosip apa? Kamu kan tahu kalau aku lebih suka menyibukkan diri di kantin atau perpustakaan,” tanyaku balik pada Sasa karena merasa bingung dengan gosip apa yang ia maksud.
“Lah! Kamu betulan nggak tahu?” tanya Sasa dengan mata yang terbelalak dengan tangan yang menutup mulutnya karena kaget.
Aku pun hanya mengangguk polos tanpa kata. Lagian, apa pentingnya gosip? Itu hanya membuang waktuku yang berharga.
“Itu, si Jilo yang biasa sama kamu, pacaran sama Rani, teman sekelasnya!”
“Hah? Kamu bercanda saja, nggak mungkin loh, Sa. Aku tah ….”
“Terserah yah, Rona. Kamu mau percaya atau tidak itu urusanmu. Tapi cepat atau lambat, kamu pasti akan tahu. Tapi sejujurnya aku tahu, kalau sebenarnya kamu suka sama Jilo kan? Kamu gak papa?” Sasa melihatku dengan tatapan iba, seakan ingin memastikan aku baik-baik saja.
Seketika, tatapanku menjadi kosong. Bahkan, aku terus menggeleng, seolah ingin menyangkal apa yang dikatakan Sasa. Tetapi percuma saja, semua yang ia katakan adalah fakta jika sebenarnya aku mencintai Jilo.
Namun, semakin kuat aku berusaha untuk menyangkal apa yang baru saja kudengar, rasa sakit itu menusuk jantungku berulang kali. Jujur, aku benci ketika tahu jika Jilo kini menemukan kebahagiaannya. Aku semakin benci karena tahu bahagianya bukanlah aku. Keberanianku yang tidak seberapa ini membuatku semakin takut kehilangan Jilo.
“Selamat ya!”
“Cie!! Yang sudah jadian!”
“Cieee! Jangan lupa traktir yah!” Seruan menyebalkan itu terus-menerus terdengar ketika Jilo dan Rina mendekat ke arahku. Membuat riuh di dadaku semakin berkecamuk ingin teriak.
“Berisik woy! Udik banget sih! Alay!” Tanpa sadar, aku mengumpat ke arah teman-temanku yang masih tetap berisik.
"Rona, kita boleh gabung di sini?” tanya Jilo yang sudah berdiri di depanku.
Sekilas, aku melirik ke arah mereka. Benar saja, mereka pacaran. Bahkan, dengan beraninya kedua insan kasmaran ini bergandengan di hadapan semua orang layaknya dua anak kecil yang akan menyeberang jalan. Lalu apa-apaan itu? Dua ransel dibawa oleh Jilo? Memangnya perempuan di sampingnya itu tidak mampu membawa tasnya sendiri ya?
“Wow, di-treat like a princess nih,” ucapku lirih sambil menatap ke arah lain. Rasanya tidak sanggup jika harus melihat keduanya bersikap manis di dapan mataku.
“Rona, are you okay?” tanya pria bertubuh tinggi itu, sembari melambaikan tangannya di depan wajahku.
“Yah. I’m okay. Kalau mau duduk, duduk saja. Tidak usah izin, lagian ini tempat kalian,” tuturku dengan senyuman sambil tetap melihat layar ponselku, seolah tidak menyadari kemesraan yang sedang mereka pamerkan.
“Oh iya! Selamat, karena akhirnya kalian jadian juga ya. Aku turut senang mendengarnya,” timpalku dengan sambil tersenyum paksa. Jujur saja, hatiku remuk melihat mereka berdua.
“Terima kasih, Rona. Aku harap kamu bisa menjadi bagian dari kebahagiaan kami ya,” ungkap Jilo, sambil merangkul erat tubuh mungil Rina yang berdiri di sampingnya.
“Oke,” ucapku dengan penuh keterpaksaan.
****
Waktu berlalu begitu saja. Tanpa sadar, kami telah lulus dan tanpa direncanakan kami bekerja di perusahaan yang sama. Hubungan Jilo dan Rina pun semakin berkembang dan tentunya dipenuhi bumbu drama pertengkaran. Entah bagaimana, hubungan mereka pun semakin mesra.
Lalu bagaimana denganku? Ya, aku masih tetap sendiri dan semakin larut dengan pekerjaan. Hari-hariku dipenuhi dengan setumpuk deadline dan tentu saja menyaksikan drama hubungan percintaan Jilo dan Rani yang membuatku semakin lelah. Seperti yang terjadi hari ini,
“Ronaaaa!” suara Rina terdengar nyaring, lalu tiba-tiba muncul dan memelukku.
“Hey, what’s wrong?” tanyaku dengan nada yang lembut, sembari mengusap pundaknya. Aku merasa ada yang aneh dari sikapnya.
“Jilo selingkuh sama cewek lain.” Rina menjawabku sambil terisak. Tubuhnya terguncang dan air mata mengucur deras di pipinya.
Sontak mataku membulat kaget. Bahkan, saking emosinya, kepalan tanganku mulai terasa keras.
“Rin, tunggu dulu, aku…. Rona!” seru Jilo yang terlihat ketakutan, dan ingin menjelaskan sesuatu. Namun, semua itu ia tunda kala melihat tatapanku memancarkan kemarahan.
Menyadari hal itu, Jilo berjalan perlahan mendekati kami. Meski aku tahu wajahnya terlihat cukup ketakutan dan merasa terintimidasi.
“Rona, aku harap kamu bisa tenang dulu. Ini….”
Belum sempat menyelesaikan perkataannya, kepalan tanganku sudah mendarat di wajahnya. Bahkan, hidungnya mengeluarkan darah segar akibat pukulanku tadi. Sontak, rekan kerjaku yang melihat kejadian itu pun ikut terkejut.
“Rona, ini nggak seperti yang kamu bayangkan. Aku bisa jelaskan!”
“Jelaskan apa? Kamu sudah buat Rina menangis, lantas apa lagi yang bisa kamu jelaskan?” cercaku pada Jilo yang tidak ingin mendengar penjelasannya.
“Dengarkan dulu! Kalian itu sudah salah paham. Wanita yang Rina lihat bersamaku adalah Mila, sepupuku yang lama kuliah di Jerman.”
“Jadi ….”
Belum juga menyelesaikan kalimatku, Jilo sudah menganggukkan kepala seolah paham isi kepalaku.“
Lalu, mengapa Rina menangis?” tanyaku dengan tatapan penuh selidik.
“Iya, mengapa kamu tidak pernah cerita tentang dia padaku sebelumnya?” imbuh Rani yang penasaran sama ulah Jilo.
“Karena aku pikir akan lebih baik kalian bertemu secara langsung. Namun sayangnya, kamu justru salah sangka sama hubungan kami. Kamu juga Rona, bisa-bisanya kamu memukulku.”
Mendengar jawaban Jilo, refleks aku menggaruk tengkukku yang tidak terasa gatal. Begitu juga dengan Rina yang mengikuti gerak-gerikku. Sedangkan Jilo yang menyaksikan respon kami, hanya bisa menghembuskan nafas berat, lalu memilih pergi.
Setelah kejadian itu, aku merasa malu untuk bertemu dengan Jilo. Bahkan, ketika berpapasan atau menyadari kehadiran Jilo di sekitarku, aku pun memilih untuk menjaga jarak. Bahkan, pada minggu-minggu berikutnya aku tidak lagi sedekat itu dengan Jilo. Aku pun tidak tahu, bagaimana hubungan Jilo dan Rani setelah kesalahpahaman di pagi itu, semuanya terasa serba salah.
****
“Rona, kami duluan ya!” ucap rekan-rekan seruanganku sembari menentang tas serta ransel mereka.
“Iya, hati-hati ya.”
“Ron, ingat jangan terlalu sering lembur. Sebaiknya jika sudah lelah, segera pulang. Besok lagi baru diselesaikan,” pesan Arina, senior di ruanganku.
“Baik, Mbak," ucapku sambil tersenyum kecil dan merenggangkan tubuh yang mulai terasa tegang.
Satu-persatu rekan kerjaku mulai meninggalkan ruangan sembari melambaikan tangan, serta berpesan seperti Mbak Arina tadi. Melihat sikap mereka yang penuh perhatian, aku pun hanya membalas dengan senyuman. Setelah itu, ruangan kembali hening dengan aku kembali fokus menyelesaikan pekerjaanku.
Hingga tiba-tiba saja, suara dari ponselku memecah keheningan yang telah sejam lalu tercipta. Jilo meneleponku, tumben, ada apa ini?
“Halo, Jilo, ada apa?” tanyaku setelah menggeser ikon hijau pada layar ponselku.
“Apa?! Iya, aku ke sana, Mila. Tolong jaga dia,” balasku kepada penelepon di seberang sana.
Setelah mendapatkan kabar buruk dari Mila, aku segera bergegas menuju sebuah tempat hiburan malam, tempat Jilo dan Mila berada. Sepanjang perjalanan, perasaanku penuh campur aduk.
Kamu kenapa lagi, Jilo? Please, jangan bikin aku cemas, sialan!
Setelah menempuh perjalanan yang cukup lama, aku pun tiba di tempat yang Mila sebutkan dengan perasaan khawatir.
“Ada yang bisa dibantu, Nona?”
“Maaf, saya ingin bertemu teman saya, dan ia ada di dalam,” jawabku kepada pria bertubuh kekar yang tengah berjaga di depan pintu masuk.
Mendengar penjelasanku, pria itu segera membuka pintu dan memberiku jalan untuk masuk. Penat, penuh, dan padat, itulah kesan yang pertama kali aku rasakan ketika melewati pintu masuk, bahkan bau alkohol serta asap rokok terasa begitu menekanku.
Parahnya, aku harus bertahan hanya untuk mencari Mila dan Jilo di tengah padatnya manusia yang tengah meliuk-liuk seperti cacing kepanasan. Untungnya, mataku berhasil menangkap sosok Mila yang tengah berdiri di samping Jilo yang sudah tak karuan penampilannya. Aku pun segera memberanikan diri melewati lautan manusia untuk mencapai mereka.
“Kak Rona, untung Kakak datang. Please, Kak, bantuin aku ngeluarin makhluk ini dari sini,” pinta Mila dengan mata berbinar ketika aku telah berdiri di sampingnya.
“Baiklah, ayo!”
Kini, aku dan Mila berusaha sekuat tenaga membopong tubuh Jilo menuju tempat parkir. Setelah melewati padatnya tempat itu, kami akhirnya berhasil keluar dari sana dengan keadaan Jilo yang sudah pingsan akibat kebanyakan minum.
“Mil, Jilo kenapa sampai begini?” tanyaku pada Mila.
“Kak Rona, sebenarnya Kak Jilo ada masalah sama wanita sialan itu.”
“Maksud kamu Rina?”
“Iya, Kak. Setelah kesalahpahaman itu, semuanya berjalan normal. Bahkan, aku dengan dia sempat bertemu. Namun, kata Kak Jilo beberapa bulan ini Rina mulai berubah. Lalu tadi, ketika Kak Jilo menjemputku di rumah, kami melihat Rina memeluk pria lain dengan sangat mesra. Karena penasaran kami pun mengikuti mereka yang ternyata masuk ke sebuah rumah besar. Karena itulah, sekarang Kak Jilo seperti ini Kak.”
Mendengar penjelasan Mila, tak bisa dipungkiri aku kaget setengah mati. Tetapi tatapanku harus tetap fokus ke jalan.
“Mila, malam ini kita ke rumahmu saja ya," ucapku.
Mila yang mendengar perkataanku hanya mengangguk sambil mengarahkan jalan menuju rumahnya. Akhirnya, kami tiba di kediaman Mila. Dengan bantuan satpam di rumah Mila, kami pun berhasil membawa Jilo ke kamar tamu.
“Kak, ini tehnya diminum dulu. Terima kasih untuk malam ini ya Kak.”
“Sama-sama, Mil," jawabku sembari menyandarkan tubuhku ke sofa tamu yang empuk.
“Kak Rona, kalau boleh tahu kenapa kakak selalu peduli sama Kak Jilo? Bahkan, dari semua wanita yang dekat sama Kak Jilo, kakak selalu ada buat dia ketika dia butuh.”
Mila memperbaiki duduknya agar dapat melihatku dengan seksama. Ada raut bingung dan penasaran di wajahnya.
Aku terdiam. Bingung harus berkata seperti apa. Kemudian kutarik nafas panjang sambil memejamkan mata. Kali ini akan aku kuatkan hatiku untuk bersikap lebih berani dan jujur pada diriku sendiri.
“Sebenarnya sudah sejak lama aku menyukai Jilo, bahkan aku begitu menginginkannya Mil. Tapi aku tidak punya keberanian untuk mengungkapkan itu. Aku hanyalah pengecut yang berlindung dibalik kata persahabatan. Awalnya rasanya begitu sakit melihat Jilo jatuh cinta pada wanita lain. Rasanya tidak adil. Tetapi perlahan-lahan aku sadar, jika cinta yang sebenarnya adalah bahagia melihat orang yang kamu sayangi menemukan labuhan hatinya. Aku begitu senang melihatnya tersenyum dan tertawa meskipun bukan aku penyebabnya. Rasa sayangku lebih besar dari keegoisanku Mil. Daripada memilikinya, aku lebih ingin melihat Jilo bahagia. Itu saja.” Aku tertunduk menatap secangkir teh yang ada di genggamanku. Kepulan asapnya perlahan-lahan menghilang. Tanpa kusadari, air mataku membumbung di pelupuk mata. Ah perasaan sesak ini semakin menjadi-jadi.
Mila terdiam mendengar ucapanku. Bisa kurasakan tatapannya seperti ingin mengatakan sesuatu. Sejenak keheningan hadir di tengah perbincangan kami.
“Tapi, Kak Rona juga berhak ungkapkan apa yang kakak dirasakan. Kak Rona pun punya kesempatan yang sama untuk mendapatkan hati Kak Jilo. Sebenarnya aku lebih mendukung Kak Rona dan Kak Jilo,” ucap Mila mantap.
“Mil, cinta bukanlah hal yang bisa kita paksakan. Melihat Jilo bahagia itu sudah lebih dari cukup.” Aku tetap menatap cangkir teh di tanganku lekat-lekat, “Meski itu artinya, perasaanku lah yang harus dikorbankan,” lanjutku dalam hati.
Mila menghela nafas panjang kemudian menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa. Sepertinya dia tak menemukan alasan yang cukup kuat untuk membalas ucapanku tadi.
“Baiklah, aku percaya keputusan Kak Rona. Tapi aku tetap ingin melihat kalian berdua bahagia,” ucap Mila, “Kak, kalau nanti aku harus balik lagi ke Jerman, tolong jaga Kak Jilo ya.” Pinta Mila pelan.
“I will be do it, Mil. Pasti.” Jawabku singkat.
****
Sejak malam itu, hubungan persahabatanku dengan Jilo pun membaik. Bahkan, kami kembali akrab lagi seperti dulu lagi. Tentang hubungan Jilo dan Rina, aku sendiri tak pernah tahu akan berakhir seperti apa, karena Jilo tidak pernah ingin membahas itu.
Berbulan-bulan kami menjalani semuanya dengan baik. Bahkan Mila yang telah mengetahui perasaanku untuk Jilo semakin sering menghubungi dan tanpa henti memintaku agar berani bersikap jujur tentang perasaanku ke Jilo. Tentu saja aku menolak gagasan itu berkali-kali. Tetapi semakin hari aku semakin sadar bahwa mau sampai kapan aku menjadi pengecut dan menghabiskan waktuku di samping Jilo sebagai seorang sahabat. Pemikiran itu membuatku mengumpulkan keberanian sedikit demi sedikit. Hingga akhirnya datang juga, hari di mana aku putuskan untuk menuntaskan semuanya.
“Jilo, sebentar malam kamu sibuk enggak?” ucapku ragu sembari memasukkan sesendok nasi ke mulutku. Makan siang adalah waktu yang tepat untuk memulai rencanaku.
“Enggak, kenapa?” jawab Jilo sambil memandangku dengan heran.
“Aku mau ajak kamu makan malam, nih. Sekalian ada yang mau aku omongin, bagaimana?” keberanian ini membuat jantungku berdetak sangat kencang seperti akan melompat keluar.
“Wow! Tumben sekali, tapi boleh lah. Kebetulan juga, aku mau memberikan sesuatu buatmu,” jawaban Jilo justru membuatku penasaran setengah mati.
“Jil, apaan itu?”
“Sudahlah, nanti saja saat makan malam. Biar jadi surprise!”
“Okelah!”
****
Tidak terasa, waktu begitu cepat berlalu dan di sinilah aku berada. Sebuah restoran indah tempat aku dan Jilo akan bertemu.
“Sudah lama menunggu?” tanya Jilo ketika sampai dan langsung menghampiriku.
Dengan senyuman manis, aku membalas, “Belum kok, kebetulan aku juga baru sampai beberapa menit yang lalu. Silakan duduk, Jil.”
“Ron, kamu sudah pesan?”
Aku hanya menggelengkan kepala. Melihat responku, Jilo pun memberikan kode kepada seorang pelayan yang tidak jauh dari kami.
“Silakan menunya, Pak, Bu.”
Kini mataku mulai melihat menu yang ada, lalu memesan apa yang ingin kucicipi. Begitu juga dengan Jilo. Setelah mencatat semua pesanan kami, pelayan itu pun pergi meninggalkan aku dan Jilo yang mulai canggung.
“Tumben ajak dinner, ada apa ini?” tanya Jilo sembari menatapku penuh tanya.
Mendengar pertanyaan itu, aku memilih untuk tidak langsung menjawab. Aku mengatur nafas agar mengurangi perasaan gugup yang mengerubungiku sejak tadi.
“Jil, sebenarnya aku mau jujur sama kamu. Aku suka sama kamu. Aku tahu, kamu pasti tidak akan percaya secepat itu, apalagi menerimaku. Tapi inilah kejujuranku, aku sayang sama kamu, lebih dari teman maupun saudara. Aku ingin, kita bisa menjadi sepasang kekasih, Jil.”
Jilo yang mendengar perkataanku seketika alisnya bertaut dengan dahi yang berkerut. "Rona, kamu serius dengan perkataanmu?” Jilo bertanya untuk memastikan kembali apa yang baru saja ia dengar adalah nyata atau tidak.
“Iya, Jilo. Aku serius, bahkan aku sudah tidak mampu memendam semua ini lagi. Sejak kuliah, aku menyimpannya dengan rapi, dan berharap kamu dapat merasakannya. Tapi, tentu saja itu mustahil,” ucapku sambil mengutuk diriku yang dahulu begitu penakut.
Jilo tertegun. Ia diam sejenak sambil menatap ke arah lain, entah apa yang ia lihat. Jantungku berdetak tidak beraturan. “Aku minta maaf, Rona. Seandainya aku menyadari sejak awal, pasti tidak akan ada luka. Aku minta maaf, aku tidak dapat membalas perasaanmu,” ucap Jilo lirih, sambil menyerahkan sebuah undangan pernikahan.
Ucapan Jilo terasa seperti meriam yang meluluhlantakkan hati dan pikiranku. Mendengar hal itu, aku pun sadar jika sepertinya kesempatan itu sudah tidak ada lagi untukku.
“Rina hamil, dan aku tidak mau ia menerima aib dan anak yang ia lahirkan menjadi yatim karena pria yang menghamilinya meninggal dalam kecelakaan. Jadi mau tidak mau, aku menggantikan lelaki itu, karena sejujurnya aku masih menyayangi Rina. Maafkan aku, Rona.” Jilo berusaha keras menjelaskan.
“A-apakah kesempatan itu sudah tidak ada?” tanyaku, dengan terbata-bata. Air mata yang sejak tadi kutahan perlahan tapi pasti mulai membanjiri pipiku. Jujur, aku sudah tak peduli jika ada yang menggunjingku karena kini yang aku rasakan sekarang hanyalah sakit yang tak bisa dijelaskan.
Jilo mendekat kemudian memeluk tubuhku yang kini mulai bergetar hebat menahan sakit dan sesal yang menjadi satu. Ia membiarkanku untuk terus menangis sepuasnya di dalam pelukannya. Namun, hal itu justru membuatku semakin terluka. Membayangkan tubuh yang sering kupeluk ketika sedih, sebentar lagi akan jadi milik orang lain. Senyuman yang selalu menenangkanku, perlahan akan ia berikan kepada orang lain. Orang yang begitu aku cintai, kini benar-benar pergi meninggalkanku.
“Sudah puas?” tanyanya ketika menyadari tangisanku mulai berhenti. Aku pun hanya mengangguk.
“Lusa aku akan menikah, Rona. Aku harap kamu datang.” ucap Jilo sembari memegang kedua pundakku untuk memastikan kehadiranku.
“Aku tidak bisa janji, Jilo,” jawabku pelan, lalu dengan langkah gontai pergi meninggalkan Jilo yang kini hanya mematung.
****
Hari ini, langit begitu cerah seolah memberikan restu akan hubungan mereka, dan di sinilah aku berada, di pernikahan Jilo dan Rina.
“Kak Rona, Kakak yang sabar yah,” ucap Mila yang sudah berada di sampingku dan menatapku dengan penuh simpati.
“Iya, Mil, aku sudah ikhlas jika Jilo bahagia.”
Aku tersenyum getir mendengar ucapanku sendiri. Keikhlasan yang berdiri di atas dukaku adalah akhir dari kebodohanku karena menyembunyikan perasaan ini. Semoga ia bahagia. Semoga aku pun kelak bisa bahagia. Semoga.
***
THE END.