Aku bertemu dengannya di halte. Hari itu hujan turun dengan deras, jadi aku berteduh di sana karena tidak membawa payung. Wanita berambut biru keunguan itu menarik perhatianku. Selain dari warna rambutnya yang mencolok indah, parasnya juga sangat cantik. Ia menoleh padaku saat aku sedang memandanginya. Alih-alih marah, ia tersenyum kecil. Aku membalas senyumnya dengan canggung sambil membungkukkan badan sedikit.
"Tinggal di sekitar sini ya?" tanyanya beberapa saat kemudian. Kendati ia sudah tidak menoleh padaku, aku tahu pertanyaan itu ditujukan padaku karena hanya ada kami berdua di halte ini.
“Iya, Kak,” jawabku singkat karena aku memang tidak terlalu pandai bercengkrama.
Ia kali ini menoleh padaku lagi. “Di mana temanmu yang biasanya?”
Aku cukup terkejut karena jika dipikir, pertanyaannya yang pertama pun merujuk jika ia memang tahu sesuatu tentangku. Ia bertanya soal tempat tinggalku yang memang berada di sekitar sini padahal aku sedang menunggu di halte seperti dirinya. Jika ia tidak tahu apa-apa, pasti ia berpikir aku juga sedang menunggu bus. Lalu sekarang ia menanyakan temanku “yang biasanya”? Jika yang ia maksud adalah Lisa, ia sedang tidak masuk hari ini, jadi aku pulang sendirian.
Entah karena melihat ekspresiku yang berubah menjadi waspada, ia melanjutkan, “aku sering duduk di sini saat sore hari, bukan untuk menunggu bus. Dan aku sering melihatmu berjalan kaki dengan temanmu itu dari kampus.”
Aku masih bersikap hati-hati. Jadi aku berusaha tidak menatapnya dan memalingkan wajahku, memilih memandang hujan. Aku takut ia tukang hipnotis atau orang jahat. “Maaf, tapi saya tidak pernah melihat Anda.”
“Tidak apa. Aku memang berusaha agar tidak diperhatikan orang-orang. Aku hanya suka mengamati.”
Menurutku mustahil orang tidak mengamatinya dengan rambut panjang lurus berwarna biru itu. Aneh, aku juga bahkan tidak pernah melihatnya sebelumnya. Dia pasti penipu.
Seakan bisa membaca pikiranku, ia kembali berbicara. Kali ini diiringi tawa kecil yang entah mengapa terdengar sedikit pilu. “Terserah padamu jika kamu berpikir aku orang jahat. Memang seperti itulah respon yang benar. Tapi aku sudah tidak terlalu peduli apa yang orang lain pikirkan lagi terhadapku.” Ia kini menengadah menatap tetesan hujan dari atap halte. “Kalau kuperhatikan dari sebelum-sebelumnya, kamu seorang pendengar yang baik untuk temanmu yang heboh itu.”
Aku diam saja, tidak ingin menanggapinya.
“Aku teringat ibuku saat melihatmu. Ia meninggal sudah lama sekali, saat aku masih kecil. Aku begitu terkejut saat aku berpapasan denganmu karena wajahmu saat tersenyum mirip sekali dengannya. Aku sampai berpikir, mungkin beginilah ibuku waktu masih gadis.” Aku menoleh untuk melihat ekspresinya. Wajahnya sendu dan matanya seperti menerawang jauh. “Sejak saat itu aku menunggumu pulang di sini agar bisa melihatmu, melihat sosok ibuku yang kurindukan. Maaf, mungkin itu terdengar aneh.”
“Tidak apa-apa,” ucapku. Walau masih ada sedikit kecurigaan di benakku, aku sebenarnya masih penasaran dengannya. Dan kelihatannya, dia masih ingin berbicara banyak.
Setetes air jatuh dari pelupuk matanya. Ia cepat-cepat menghapusnya. “Terserah kamu mau mendengarku atau tidak. Tapi aku mau bercerita.” Ia menatapku kali ini. Matanya berkaca-kaca dan air matanya bisa jatuh lagi kapan saja. Aku mengangguk mengiyakan.
“Aku menceraikan suamiku seminggu yang lalu.” Ia menghela napas panjang. “Sama seperti semua orang, ia menganggapku bodoh. Dan aku memang bodoh mengiyakan ajakannya menikah di saat yang ia lihat hanyalah kecantikanku. Lalu saat ia melihat aku yang semakin gila, ia pun semakin sering pergi ke pub dan meniduri entah berapa banyak jalang di sana. Tapi akhirnya sekarang itu bukan urusanku lagi, meskipun ayah marah besar karena itu beresiko untuk bisnisnya.”
“Aku lelah hidup tanpa ibu di sisiku. Aku sudah mengusahakan semuanya dan orang berpikir kalau aku berhasil hanya karena aku cantik. Mengapa aku malah mengambil tampang ayah brengsek itu daripada ibu yang selalu sayang padaku? Ibuku cantik sekali dan aku lebih suka melihat wajah ibu dibanding wajahku sendiri.”
Ia bergeser mendekat padaku, lalu kembali bercerita tentang kehidupannya. Ia pasti lelah jika bicara sambil berteriak terus-menerus, ditambah dengan emosinya yang sedang tidak stabil seperti saat ini. Dari caranya bersumpah serapah, ia juga sepertinya tidak punya sosok laki-laki yang bisa melindunginya dan menyayanginya dengan benar. Ayahnya kejam dan mantan suaminya seorang bajingan. Aku jadi mulai bersimpati padanya. Jika ia ingin didengar, maka aku akan mendengarnya. Aku tidak akan berkomentar mengingat apa pun bisa terjadi jika ia yang sedang sensitif ini disenggol sedikit saja. Mungkin benar jika ia hanya ingin menyampaikan seluruh keluh-kesahnya.
“Agaknya kamu tidak pernah melihatku sebelumnya karena aku mengecat rambutku dengan warna hitam. Warna asli rambutku sebenarnya coklat keemasan, kudapat dari ayahku yang keturunan Australia. Itulah yang membuatku terlalu mencolok di sekolah dan dipikir bisa ikut olimpiade karena wajahku yang mereka bilang cantik dan punya rambut yang indah.” Ia tertawa getir. “Jadi aku selalu mewarnainya hitam seperti kebanyakan orang, berharap dengan begitu orang-orang lebih menghargai semua pencapaianku.” Ia membentangkan senyumnya. Aku ingin memujinya cantik tapi sepertinya ia tidak suka dibilang begitu. “Tapi sekarang aku sudah tidak peduli. Aku mewarnai rambutku dengan warna kesukaan ibuku.”
Aku kembali memandang ke langit. Hujan mulai mereda. Wanita itu juga menyadarinya. “Wah, kamu pasti sudah mau pulang ya.” Suaranya terdengar ceria. Kalau tidak pernah mendengar kisah hidupnya tadi, pasti aku akan berpikir ia adalah orang yang selalu berbahagia.
“Saya tidak sedang buru-buru kok. Kalau masih mau bercerita, silakan saja. Saya akan mendengarkan.”
Ia menyampirkan anak rambutnya ke belakang telinga. Kali ini ia tersenyum kikuk sambil agak membungkuk ke arahku. “Ah, tidak perlu. Aku sudah cukup banyak bercerita. Terima kasih. Maaf merepotkan.”
Aku juga cepat-cepat membungkuk ke arahnya. Bagaimanapun, ia lebih tua dariku dan aku harus menghormatinya. Lagipula ia sepertinya orang baik. “Tidak sama sekali. Semoga Anda selalu bahagia setelah ini,” ucapku sungguh-sungguh.
Hujan sudah berhenti sekarang. Namun tetesan-tetesan air masih berjatuhan dari atap dan pepohonan. Aku berpamitan untuk pulang dan ia melambaikan tangannya sehingga aku pun ikut melambaikan tanganku sambil berjalan menjauhi halte itu, menuju indekosku.
***
Keesokan hari sampai seterusnya selama tiga hari, aku melihat wanita itu duduk di halte seperti kemarin. Kini aku melemparkan senyumku padanya setiap kami bertemu tatap. Ia membalasnya sambil melambaikan tangan. Lisa sampai keheranan mengapa aku bisa mengenal perempuan itu. Aku hanya bilang kami bertemu di halte saat berteduh, tanpa mengatakan apa saja yang diceritakannya.
Di hari ke-empat setelah itu, saat aku kembali tersenyum sambil menunduk sedikit pada Si Wanita Berambut Biru, ia berjalan mendekatiku. Ia bilang dengan suaranya yang lembut bahwa hari ini adalah hari terakhirnya bertemu denganku. Seperti biasa, ia tersenyum dengan ceria dan teduh. Ia meminta izin padaku apakah ia boleh memelukku. Aku mengiyakan dan ia langsung menarikku dalam dekapan erat. Lisa melotot saking terkejutnya. Namun aku membalas pelukan itu sambil menepuk pundaknya pelan.
“Aku akan memotong rambut biruku ini lalu pergi,” katanya sambil tertawa.
Aku sebenarnya menyayangkan itu, rambutnya indah sekali. Tapi siapalah aku, aku tidak berhak menghakiminya. Itu pilihannya. Selagi ia bahagia, seharusnya aku ikut senang. Aku turut tersenyum. “Semoga Anda selalu bahagia,” ucapku sama persis seperti sebelumnya.
“Pasti. Terima kasih atas segalanya ya.” Jika sebelumnya aku tidak pernah melihatnya pergi bahkan sehabis kami saling melempar senyum, kali ini ia pergi dari halte itu. Ia berjalan ke arah berlawanan dari langkahku dan Lisa yang menuju indekos.
“Sampai jumpa di kemudian hari,” ujarku sambil agak berteriak karena jarak kami yang semakin jauh. Ia menoleh tanpa melepas bentangan senyum dari wajahnya. Untuk pertama kalinya, aku melambaikan tangan duluan. Namun ia tidak membalasnya.
Ia benar-benar tidak ada di halte sepulang aku kuliah di hari Senin, begitu pun seterusnya. Seperti ucapannya, ia mungkin memang memotong rambut biru keunguan itu lalu pergi.
***